Budayakan apresiasi karya, Budayakan hargai hak cipta, Kalau mau gaya Jangan bajak karya saya. Selalu cantumkan nama penulis asli dan sumber dalam Copy - Paste anda :)

Sabtu, 22 Maret 2014

Mata Dalam Segelas Kopi

"Mas, kopinya."
"Oh, iya terima kasih."
Dia memberikanku segelas kopi seraya tersenyum manis. Setelah gelasnya kugenggam dan kuletakkan di meja dia menatap layar televisi kemudian mendudukkan dirinya di kursi.

Pagi di hari sabtu kesekian setelah hari pernikahan kami. Pagi kami tak pernah sehangat pagiku kala bersamamu. Minim kata, minim canda, semua seolah terjadi hanya sebagai satu takdir semesta.

Aku masih melihatmu di belakang mataku. Aku masih merasakanmu di luar jiwaku. Kau, pada purnama keberapa kau dapat kembali kujumpa? Di hadapanmu, ku ingin mencintaimu sekali ini lagi.

Aku masih menyesap kopi setiap pagi, seperti kita, seperti kamu. Hanya saja, dia hanya menemaniku menyesapnya, tidak ikut bersamaku menikmatinya.

Kau benar, aku mampu mencintainya meski tak pernah sebesar aku mencintai kamu. Entah apa namanya, yang jelas di antara aku dan dia terlalu banyak logika. Hubungan ini menjadi nyata atas dasar kesepakatan pikiran, bukan kesepakatan perasaan.

Aku ingat gelas demi gelas kopi yang pernah kita sesap bersama. Di setiap tempat mereka terisi kopi yang sama, seduhan kopi hitam dan sedikit gula. Di berbagai suasana mereka telah menemani aku, menemani kamu, menemani kita yang dulu pernah jadi satu.

Bisa jadi ini dosa terbesarku, setengah mati merindumu di depan gelas kopi buatan istriku. Dirimu pun telah jadi penyaji kopi bagi pria selain aku. Maaf, maafkan aku. Aku melihat bayang sepasang mata dalam gelas kopi itu. Sepasang mata yang terlihat begitu sendu mati-matian menahan rindu, kepadamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar