Budayakan apresiasi karya, Budayakan hargai hak cipta, Kalau mau gaya Jangan bajak karya saya. Selalu cantumkan nama penulis asli dan sumber dalam Copy - Paste anda :)

Minggu, 30 Maret 2014

Surat Untuk Mantan

Kepada hati yang dahulu pernah aku miliki,

Ada satu yang aku ingin kau mengerti. Semesta punya rahasia besar yang sama-sama kita ketahui: segalanya bukan abadi.

Hidupku baik-baik saja tanpa memilikimu dan aku tak memiliki rasa perlu dalam benakku untuk kembali menanyakan kabarmu. Sayang, aku kenal dekat dengan sepi yang kini menemuimu. Dia sudah lebih dulu menemuiku kala kau putuskan untuk sama sekali tak lagi mengenalku.

Kini aku percaya bahwa konsep dunia ini memang sebuah lingkaran. Apa-apa yang berjalan dengan arah berlawanan pada saatnya akan kembali dipertemukan. Kau kembali di saat aku tak lagi memahami makhluk apa yang kau sebut harapan. Aku mengenalmu bukan sebulan-dua bulan. Juga bukan aku mengenalmu sebatas luaran, sama sekali bukan. Aku mengenalmu jauh sampai titik terluar dari sebuah bidang yang kita beri nama perasaan.

Hatiku tidak sedang bertolak dari kenyataan. Tapi kini logikaku sudah mampu mengalahkannya dalam pertempuran pikiran. Segila apapun aku mempertahankan, realitanya akan kembali pada bukan aku yang sebenarnya kau perjuangkan. Sebesar apapun cinta yang kuberikan tetap bukan aku yang kau dambakan.

Aku tak berhasrat lagi menjalin kesepakatan pikiran. Aku hanya inginkan kesepakatan perasaan dan itu mustahil dapat kita temukan. Memori yang pernah kita rajut bersama biar jadi kenangan juga pembelajaran. Jika mampu mendekat dengan penuh kehangatan maka jangan pernah pergi dengan saling berpunggungan. Tidak hanya karena aku berhenti menjadi sesuatu yang dapat kau miliki berarti aku berhenti mencintai bukan?

Seperti yang kau katakan, manusia akan mampu mencintai seseorang yang lain meski tak akan sebesar cintanya yang telah hilang. Begitupun kamu, begitupun aku, sayang. Hidup kita harus tetap berjalan. Tak perlu saling memiliki jika di kemudian hari saling menyakiti lagi. Mari berjalan beriringan dengan hati yang tenang untuk saling melengkapi. Ketika pertemanan sudah berhasil mencetak jutaan tali percintaan, mengapa kita begitu angkuh dan enggan membiarkan percintaan mencetak satu pertemanan yang selamanya akan bertahan?

Dari hati yang kini dan nanti tetap mencintaimu,

Aku

"tulisan ini diikutsertakan untuk lomba #suratuntukruth novel bernard batubara" @gramedia"

Kamis, 27 Maret 2014

Mengenal Kebencian

Mereka bilang aku ini si tolol.
Menunggu untuk hati lain yang membuat hati ini berulang-ulang jebol. Mereka juga bilang aku ini si bodoh. Mencintai hati yang tak henti membuat jantung ini tergopoh-gopoh.

Mereka bilang aku ini bisu. Tak menggubris siapa yang memanggilku, hanya untuk menunggu. Mereka bahkan bilang aku ini si tuli. Membentengi telinga dari cibir-cibir yang melukai.

Nyatanya sakit ini memang tololku. Luka ini juga karena bodohku. Si bisu jua memang aku. Bahkan si tuli juga aku.

Kau, tolong beri aku setitik keberanian. Kumohon, ajari aku mengenal kebencian. Tak lagi ada waktu bagiku untuk penantian. Jeratmu benar telah membuat aku enyah dari kenyataan.

Rabu, 26 Maret 2014

Gila Dalam Tanya

Berapa apa siapa kenapa
Aku juga manusia yang sama seperti mereka
Tak peduli masa yang tak hingga
Jalang, dusta, hina, dan durjana

Apa siapa kenapa berapa
Buang saja ucap-ucap mereka
Coba anggap aku ini bukan manusia
Tetap jalang dan tetap hina

Siapa kenapa berapa apa
Lupakan rasa yang pernah kau rasa
Aku dia mereka memang makhluk yang sama
Tetap dusta dan tetap durjana

Kenapa berapa apa siapa
Dengan atau tanpa makna
Manusia memang makhluk gila
Aku kamu dia mereka sama saja
Bajingan sama brengsek sama

Minggu, 23 Maret 2014

Jauh Setelah Perpisahan

Setiap malam sebelum mata ini penuh kupejam, aku berdoa: pada suatu detik dalam putaran galaksi, kau temui dan seutuhnya memahami lirik ini.

Kau, ini tentangmu. Aku merasa sedamai dan setenang itu saat bersamamu. Hidupku benar terasa seperti hidup yang semestinya, tak ada rasa mati rasa seperti biasanya.

Sejujurnya tak pernah terbayang dapat sampai di titik ini, entah bagaimana bisa jadi seperti ini. Aku sedia untukmu, ingat baik-baik bahwa ini bukan janji untuk siapapun di bawah langitnya bumi. Janji ini atas nama hatiku sendiri, kepada hatiku sendiri. Sekuat mungkin aku ingin terus menjaga perasaan yang hingga kini tak jua aku mengerti.

Kediamanku selama ini bukan perjuangan, cinta melakukan tapi tidak merasa berjuang. Mengertilah bahwa ini sama sekali bukan obsesi yang harus dijadikan kenyataan. Kerinduanku yang selama ini terbenam juga bukan pengorbanan, cinta melakukan tapi tidak merasa berkorban. Sekecil apapun aku tak ingin ada bagian yang rusak dalam kedekatan yang kita sebut pertemanan.

Besar kemungkinan segalanya hanya ada dalam perasaanku. Tak pernah benar bahwa ada rasa seperti yang ada dalam kira-ku. Aku memang bukan suatu apapun. Aku tak menuntut dan meminta apapun. Kau boleh menyayangi siapapun. Kau boleh dimiliki oleh siapapun.

Segalanya bukan abadi. Perpisahan adalah satu kepastian dalam semesta ini. Tak pernah dan tak akan pernah ada hati yang siap menghadapi perpisahan. Sepenuhnya kau miliki aku, bahkan jauh setelah perpisahan itu benar-benar jadi kenyataan.

Sabtu, 22 Maret 2014

Mata Dalam Segelas Kopi

"Mas, kopinya."
"Oh, iya terima kasih."
Dia memberikanku segelas kopi seraya tersenyum manis. Setelah gelasnya kugenggam dan kuletakkan di meja dia menatap layar televisi kemudian mendudukkan dirinya di kursi.

Pagi di hari sabtu kesekian setelah hari pernikahan kami. Pagi kami tak pernah sehangat pagiku kala bersamamu. Minim kata, minim canda, semua seolah terjadi hanya sebagai satu takdir semesta.

Aku masih melihatmu di belakang mataku. Aku masih merasakanmu di luar jiwaku. Kau, pada purnama keberapa kau dapat kembali kujumpa? Di hadapanmu, ku ingin mencintaimu sekali ini lagi.

Aku masih menyesap kopi setiap pagi, seperti kita, seperti kamu. Hanya saja, dia hanya menemaniku menyesapnya, tidak ikut bersamaku menikmatinya.

Kau benar, aku mampu mencintainya meski tak pernah sebesar aku mencintai kamu. Entah apa namanya, yang jelas di antara aku dan dia terlalu banyak logika. Hubungan ini menjadi nyata atas dasar kesepakatan pikiran, bukan kesepakatan perasaan.

Aku ingat gelas demi gelas kopi yang pernah kita sesap bersama. Di setiap tempat mereka terisi kopi yang sama, seduhan kopi hitam dan sedikit gula. Di berbagai suasana mereka telah menemani aku, menemani kamu, menemani kita yang dulu pernah jadi satu.

Bisa jadi ini dosa terbesarku, setengah mati merindumu di depan gelas kopi buatan istriku. Dirimu pun telah jadi penyaji kopi bagi pria selain aku. Maaf, maafkan aku. Aku melihat bayang sepasang mata dalam gelas kopi itu. Sepasang mata yang terlihat begitu sendu mati-matian menahan rindu, kepadamu.

Selasa, 18 Maret 2014

Manisnya Luka

Kini aku tahu, apa yang ada dalam perasaanku. Sejak pertama bertemu gejolak dalam dada ini sudah mengusikku. Matanya, bibirnya, caranya bicara membuat aku semakin yakin: aku terpesona padanya.

Aku bukan seorang penyair. Aku bukan seorang penyihir. Indahnya penantian akan kubiarkan terus mengalir, seperti kisah yang terus diukir. Sesak rinduku dibawa pergi angin semilir, tiada tentu arah membiarkan darah berdesir.

Aku kenal detak jantung yang meretak dan menggulung. Aku pernah tahu rasanya rindu yang tergantung. Bukan, bukan maksud hati membuat logika menjadi linglung. Namun apa daya jika jiwa telah dibuatnya mematung.

Tawa dan air mata tentu ada dalam siklus hidup setiap manusia. Masa untuk luka dan bahagia pun sudah ditentukan oleh semesta. Yang pernah ada pasti kan tiada, yang pernah diangan juga bisa jadi kenyataan. Sesering mungkin harusnya manusia belajar melapangkan dada, menguatkan hati agar harap yang ada tidak bermetamorfosa jadi manisnya luka.