Begitu manis, sabit menemaniku
menyesap rindu, menghabiskan sepertiga malam ini. Bersentuh langsung dengan
bumi, terpayungi atap semesta bertaburkan bintang. Kucoba untuk menatapnya,
mencoba membaca makna dari senyumnya. Dadaku menghangat, desiran darahku
semakin cepat. Kurasakan hadirmu disini, aku merasakanmu begitu dekat, sedekat
hati kita. Senyumnya seutuh senyummu, sinarnya sehangat pelukanmu. Mungkinkah
kau juga sedang bersamanya?
Aku percaya, masih dan selalu
masih ada intuisi diantara kita. Seperti purnama dan pasang laut, seperti umbra
dan penumbra, seperti... seperti bumi dan matahari. Meski jarak tak jua lelah
memisah aku dan kamu, memisah kita. Waktu memberikan ruang yang terlalu terbuka
untuk kita saling merindu, karena takdir memberikan celah yang cukup untuk kita
saling mencinta.
Entah bagaimana hatiku begitu
yakin pada hatimu, pada caramu menyayangiku. Aku merasa kau menyayangiku
sebagai aku menyayangimu. Bagimu, bagiku, bagi kita menyayangi tidak harus
melalui apa yang terucap. Caramu menatapku, senyummu, pelukanmu yang meniadakan
semua ketakutanku.
Akankah waktu sudi membiarkan
pelukan kita saling berjumpa(lagi)? Maukah Tuhan memberikan kesempatan untuk
pelukan malam itu menyapa deru nafas aku dan kamu? Malam itu malam yang selalu
kurindu. Aku percaya, semua ada masanya. Akan indah tepat pada waktunya. Peluk
itu menenangkanku, memberikan nafas baru dalam hidupku.
Aku percaya dan siap menerima
segalanya. Jika kepercayaanku harus dibayar dengan lukapun, degan tangispun.
Jika semua adalah kesalahanku dalam menafsirkan, jika semua hanya nyata dalam anganku, tak apa. Jika kepercayaanku adalah kebodohanku dalam anganku sendiri, ketololanku yang
selalu merindumu. Tak apa, ini mauku, ini inginku.