Semesta, aku terduduk memandang langit malammu. Aku sendirian, tak seorangpun ada di sini, di sisiku. Tak seorang pun temani aku nikmati hangatnya malam, malam dimana debu-debuan langit berkedipan manja. Semesta, sudikah kiranya kau dengarkan aku? Ataukah memang tak ada sesuatu apa pun yang sudi dengarkan inti si bodoh ini? Mengapa kau hanya terdiam melihatku seperti ini? Tidakkah ingin kau selamatkan aku? Menuntunku sampai kutemui mega di pagi hari, mengantarku pada titik terang agar mampu melihat langit yang membiru, lagi?
Aku baik saja
tanpamu, tanpanya, tanpa siapapun. Aku selalu baik di sepanjang hidupku yang
hampir tak pernah hidup. Aku masih cukup bijaksana untuk kebenaranku sendiri.
Kebijaksanaan, kebenaran yang tak jua seiring dengan kebahagiaan. Inikah tokoh
yang kau tulis untuk kuperankan? Inikah babak yang harus kulalui agar sampai di
titik akhir pementasan kehidupan?
Aku tak pernah
menolak apa pun. Tidak meteorit yang meninggalkan jejak lubang di permukaan
sesuatu yang kusebut dengan perasaan. Tidak pula dandelion yang beterbangan
menuju awan, melupakan aku yang termangu merelakan kaca-kaca meretak pecah di
mataku. Pun dengan kupu-kupu yang mendobrak keluar dari pintu hatiku,
membiarkan hampa merasuk jauh ke dalam jiwa yang mungkin hampir mati.
Tiga, dua, satu
pun aku tak meminta kau jawab tanya-tanyaku. Aku ingin hidup, aku ingin hidup.
Semesta, bila memang ada pelangi setelah hujan, ijinkan aku merasakan goresan
warnanya. Goreskan dia di dalam ruang hati si bodoh yang tak kenal cahaya ini.
Bawa si bodoh ini ke dalam babak drama yang memiliki secercah sinar. Semesta,
Bila memang ada hujan setelah panjangnya kemarau, ijinkan aku basah karenanya.
Semesta, si bodoh ini ingin hidup, aku ingin hidup.