Budayakan apresiasi karya, Budayakan hargai hak cipta, Kalau mau gaya Jangan bajak karya saya. Selalu cantumkan nama penulis asli dan sumber dalam Copy - Paste anda :)

Minggu, 31 Maret 2013

Selamat Jalan


Semua ada masanya, semua akan tiba masanya.

Ada masanya aku merasakan hidup yang sederhana, tanpa perasaan yang membahagiakan, juga tanpa perasaan yang menyakitkan. Masa dimana aku berjalan sendiri, dan selalu kuat menapak persoalan di atas kakiku sendiri. Hanya aku dan Tuhanku.

Ada masanya aku merasakan hidup yang mulai tak lagi sederhana, dengan perasaan yang membahagiakan, juga dengan perasaan yang menyakitkan. Masa dimana aku berjalan mengikuti jejakmu, dan terasa sulit menapak jejak tanpamu. 

Masa itu datang setelah kedatanganmu dalam hidupku, aku merasa tak lagi kosong, tak lagi merasa hampa. Kucoba menikmati masa-masa itu, selama mungkin, selama yang kau mau dan mampu, selama yang ada di harapku. Masa dimana waktu terasa beku bila kita saling membisu rindu. 

Setiap masa memiliki cara untuk menyampaikan rasa, setiap masa memiliki rasa yang berbeda.
Hingga nanti tiba masa yang tak pernah kuinginkan, masa yang akan membiarkan aku tertatih tanpamu. Masa kepergianmu. Masa yang memisahkan kini, dan masa lalu. Masa yang menjembatani kini dan masa yang akan datang. 

Masa untuk kau pergi, dan mungkin takkan pernah kembali lagi. Masa untuk kakimu menjarakkan peluk kita, pelukkan kita. Masa itu, mungkin menjadikanku tak berarti lagi di matamu. Masa itu, akan menjaga tempatmu disini, di hatiku.

Jangan pergi, tetaplah disini.
Pergilah, segera kembali.
Selamat jalan, sayang.


Sabtu, 30 Maret 2013

Mengosongkan Rasa


Di bangku yang sama, di waktu yang sama, sesuatu bisa jadi mulai berbeda. Pedagang-pedagang makanan dan minuman masih sibuk seperti biasa. Beberapa sedang melayani, yang lain mengambil priring dan gelas kotor yang telah ditinggalkan pembelinya di atas meja.

Aku tak lagi menatapmu diam-diam, tak lagi mengira-ngira siapa dirimu; ‘kuncir kudaku’. Sejak beberapa minggu yang lalu, beberapa waktu aku duduk di sampingmu. Kacamatamu, jaket merah yang sama masih setia menjagamu.

Buku-buku yang tertumpuk pun menunggu jamahan jemarimu. Segelas jus buah yang selalu bercampur susu mengalir terangkat melalui sedotan putih menuju bibir manismu. Dimataku kau selalu sama; indah.

Kukira kita bisa menjalin rasa, rasa yang sekian lama tak kumiliki, rasa yang ribuan hari tak berani kugenggam. Rasa yang selalu membahagiakan di permulaan.

Sesuatu jadi mulai berbeda, entah yang keberapa kau tanyakan namanya kepadaku. Ya, namanya, nama temanku. Sebelumnya aku tak terfikirkan tentang apapun, sebelumnya semua kukira baik-baik saja.

Malam ini, sesuatu jadi mulai berbeda. Saatkau tuliskan tugasmu, aku tak sengaja melihat halaman catatanmu yang terbuka. Sebuah gambar, sepotong tulisan, dan sepenggal nama yang sama dengan yang sering kau sebut di depanku.

Setidaknya kau tak melihat air wajahku yang berubah seketika. Sesuatu jadi mulai berbeda. Kini biar aku kembali pada kekosongan. Biar aku mengosongkan rasa ini diam-diam, seperti aku mengisinya diam-diam.

“Aku pulang.”


Minggu, 10 Maret 2013

Menemukan, Memiliki, Kemudian Kehilangan



Hidup yang kini kupertahankan
Adalah kepingan yang memilukan
Terbiasa sendiri berteman keramaian
Terbiasa sunyi berpeluk kekosongan

Detik yang melintas tak lagi terpikirkan
Hati yang mati tak lagi terelakkan
Sampai kukira hati benar-benar mati
Tatap matamu menghidupkannya, lagi

Garis bibirmu layaknya keajaiban
Menembus benteng yang dibangun kesakitan
Menembus akal yang selalu kupertahankan
Menembus rasa diujung kematian

Kau  bangun harapan secara perlahan
Kau  peluk angan dengan kesabaran
Kau bawa rasa menuju kebangkitan
Tanpa sadar segala itu kau lakukan

Hanya karena kusalah mengartikan
Perlahan terasa menyesakkan
Senyummu untuk semua
kuyakin tidak dengan tatap mata

Tatap mata itu milikmu
Tatap mata itu untukku
Teriak  hati ini milikku
Teriak  hati ini untukmu

Menemukan, memiliki, kemudian kehilangan
Pernahkah perpisahan tak diiringi kenangan?
Lantas, mengapa kita dipertemukan?
Apa yang sebenarnya Tuhan inginkan?

Tertulis untukmu, penuh cinta.

Sejak Pelukan Itu


Waktu terus berlalu, meninggalkanku bersama pengabaianmu yang menjadi candu, mungkin. Pesan-pesan bodoh yang berkali-kali kau abaikan belum juga mau berhenti. Terus saja berdatangan tanpa tahu diri, aku benar-benar bodoh.

“Lagi apa? Temenin aku ngobrol..”
“Lagi dimana? Aku kangen.
“ Udah makan? Jaga kesehatan.
“Udah pulang? Hati-hati dijalan.” 
“Masih bangun? Jangan tidur terlalu larut.
“Udah bangun? Jangan sampe telat kuliah.
 Semacam itu, dan masih ada yang lain. Entah mengapa rasanya bosan seolah enggan menjeratku, meski kadang terasa sesak dan ingin berteriak. Aku sadar, aku bukan siapa-siapa.

Aku rindu, tapi tak mengerti bagaimana menyatakannya. Sejak merasakan kehangatan pelukmu, kupikir aku berarti sesuatu bagimu. Pelukan itu berarti segalanya untukku, meski bagimu tak berarti apa-apa. Saat dipelukmu kuharap waktu berhenti melaju, agar aku bisa meresapi detil-detil molekul berdua, bersamamu.

Sejak pelukan itu, aroma tubuhmu menjalar ke saraf-saraf terkecil di otakku.  Merusak kewarasan dan kini memaksa perasaanku untuk terus bekerja. Wangi angin yang melintas pun seloah menjadi tombol untuk menghadirkan bayang-bayang wajahmu.

Sejak pelukan itu, setiap malam wajahku merona diterang bulan, mengingatmu, merindukan pelukmu diam-diam. Sejak pelukan itu setiap malam aku bercerita pada Tuhan, tentang kamu, tentang perasaanku yang diam-diam.

Aku tak ingin tahu kapan aku terjaga. Jika dipelukmu adalah mimpi, kumohon jangan pernah sadarkan aku. Tatap matamu saat itu membuatku ingin memiliki, meski kutahu memiliki adalah sakit, memiliki adalah kehilangan.

Aku tak bisa mengatakan “Aku sayang kamu.” Bagiku, apa yang tidak kau dengar, apa yang tidak kau lihat, masih bisa kau rasakan.Karena ini perasaan, bukan permainan. Jika ditimbang-timbang kata sayang memang boleh ditahan, tapi rasa sayang… maaf, aku tak bisa menahannya.

Aku merasa beruntung, Tuhan bersedia menghadirkanmu dihidupku. Meski nyatanya aku tak berarti apa-apa bagimu, meski nyatanya tangan kita takkan lagi saling menguatkan. Aku beruntung, mengenalmu, lebih beruntung dari mereka yang tak pernah tahu sedikitpun tentangmu.

Sejak pelukan itu kau menjadi seseorang yang mampu mengeluarkan sisi terbaikku. Semua detil tentangmu terekam jelas dikepalaku, senyummu, rambutmu, dan yang terindah adalah tatap matamu. Biarkan hidupku menjadi milik yang lain, dan biarkan hatiku tetap jadi milikmu.

Aku sayang kamu, aku tahu itu bodoh, dan aku tahu kau tak peduli. Menyayangimu tidak berdosa bukan? Jadi, tinggalkan saja aku disini, dipengabaianmu.

Sejak pelukan itu, biarkan aku menikmati kebodohanku. Menanti-nanti pelukan itu datang lagi, dalam mimpi. Dan kumohon, jangan pergi lagi.

Jumat, 08 Maret 2013

Bapak, Ibu, aku rindu

Kepadamu Bapak aku ingin bercerita
Tentang jarak yang kini memisahkan kita
Kepadamu Ibu aku ingin mengadu
Tentang waktu yang kini semakin jauh

Dibahumu Bapak aku ingin menangis
Dipelukmu Ibu aku ingin menangis
Ditanganmu Bapak aku ingin dijaga
Dikakimu Ibu aku ingin dipangku

Aku ingin terus melangkah
Meski kini terasa lelah
Aku ingin terus maju
Meski kini semakin rindu

Bapak, aku ingin berlari
Ibu, aku ingin kembali
Tuhan, biar aku berteriak
Bapak, Ibu, aku rindu