Hujan turun semakin deras, tempiasnya masih mencoba
membasahi aku, kamu, dan entah siapa lagi yang berteduh di bawah atap parkiran
fakultas ini. Langit semakin gelap pertanda hujan takkan segera pergi. Dia
memberikan aku lebih banyak waktu untuk memperhatikanmu dari jarak sedekat ini,
satu, dua, oh tiga meter. Jauh lebih dekat dari jarak saat aku mengindahkanmu
selama ini.
Matamu terlihat sayu menatap hujan, senyummu
menyisakan kesedihan. Kesakitan yang kau dapati darinya tak bisa kau sembunyikan
dari pengamatanku. Dirinya berpaling darimu, tak peduli betapa besar kasih yang
telah kau beri.
Hujan menghadirkan kembali ingatan akan waktu yang
kau habiskan bersamanya. Dimana janji yang kalian ucapkan telah ia patahkan.
Hanya kamu yang masih memegang patahan janji indah itu. Angan akan bahagia bersama,
nyatanya kau ditinggalkan demi raga yang berbeda, raga yang lebih sempurna.
Aku telah lama memerhatikanmu, mengagumimu,
mengindahkanmu dalam bisu. Sayangnya, hidup kita tidak saling beririsan. Hingga
akhirnya kau jatuh dipeluknya, aku bisa berkata apa?
Kadang aku lelah melihat cintamu kepadanya. Bukankah
dasa purnama telah berlalu? Mengapa sulit
melepasnya? Bahkan kamu masih bisa tersenyum saat dia dan kekasih pilihannya
melintas bersama. Aku tahu, cinta tak pernah punya cerita yang sederhana.
Tidakkah hujan ini membuatmu merasakan kehangatan?
Tidakkah hujan ini mengantarmu pada kerinduan? Sekali lagi, sayangnya hidup
kita tidak beririsan. Jika nanti Tuhan memperkenalkan kita, biar waktu yang
membawa cinta.
Bila kamu tak lagi tahu dimana cinta, coba lihat
aku. Aku ingin kamu menemukannya disana, dihati aku. Retinaku selalu menuju
retinamu, mencoba menemukan tatap dalam hujan yang akan memulai cerita diantara
kita.
Hingga tempias hujan tak lagi menggoda, aku masih
tak menemukannya. Tatap mata yang akan menuliskan lembaran cintamu yang baru,
aku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar