“Gua boleh jujur gak? Gua kaget. Tapi boleh ketawa bentar ya? Ahaha.”
“Ah gitu kan, lo udah janji gak bakal ngeledekin gue tadi.”
“Haha, yaelah bentar doang kali.”
“Nah, geli kan lo dengernya. Gue bilang juga apa. Berarti selama ini gue
cukup cerdas menutupi perasaan itu di depan elo-elo pada yah? Hegh,,,” Kila menghela
napas, menundukkan kepalanya sambil terus mendengarkan suara Bianca di ujung
sambungan telepon.
“Nggaaa, ngga begitu Kil. Sebenernya
ya kalo diperhatiin sikap lo ke dia emang beda sih. Lebih gimana gitu ya, tapi
ngga pernah kita permasalahin karena kita pikirnya ya semua normal-normal aja. Pantesan
lo sering bilang kangen Bandung, Bandung tuh dia maksudnya, haha. Sejak kapan
sih emang nyimpen perasaan buat dia? Terus kok bisa sih?”
“Sejak awal Tahun ini sih Bi, kalo soal itu ya mana gue tau. Gue juga ga
ngerti bisa sedamai itu kalo dia ada di deket gue.” Lututnya ditekuk, tangan
kirinya memeluk kedua lututnya. Rambut hitamnya yang sebahu ikut bergerak semakin
ke bawah.
“Ahaha, iya-iya. Lagian tiba-tiba ngomong ‘kalo udah waktunya mungkin gue
bakal cerita ke elo’, ya gue jadi penasaran lah. Bagus sih lo akhirnya berani
cerita. Pokoknya tenang aja, wajar aja ko. Lo juga gausah takut, hari gini sih
udah ga jaman diem-diem suka. Apa mesti gue bantuin ngomong ke dia?”
“Suka? Suka lo bilang? Iya lo cuek orangnya, enak-enak aja. Gue perasa Bi,
nggak enak kalo gue bilang.” Kila menekankan kata suka, ada sebal disana saat
Bianca menyebutnya suka Alvin. Bukan, bukan Kila tidak menyukai Alvin. Tapi perasaan
Kila lebih dari sekadar suka. “Gue engga mau setelah gue bilang gue malah
merenggangkan hubungan pertemanan gue sama dia selama ini. Gue... gue ga mau
dia malah menghindar Bian.” Di atas kasurnya yang bersprei biru muda Kila
semakin menunjukkan raut wajah kebimbangan, ragu itu tampak bersamaan dengan
tatapan matanya yang tak tertuju pada satu titik.
“Okeh. Begini ya Akila Dimitri, pertama lo udah hampir setahun simpen
perasaan ke dia sendirian. Kedua, apa yang elo takutin itu cuma akan jadi
ketakutan lo sendiri. So,
pertanyaannya adalah sampai kapan lo mau terus-terusan diem begini?” Suara
Bianca terdengar mulai meninggi, gemas.
“Gue gak tau, gue bilang ke elo aja gue butuh mikir berkali-kali bangeeet.
Gimana mau bilang ke Alvin, Bi?” Pertanyaan ini mungkin jadi retorik, tapi toh
tetap meluncur dari bibir mungilnya yang merah muda.
“Ada gue. Lo gak usah kebanyakan mikir, yang bisa lo pilih ada tiga.
Friends, lover, or NOTHING! Terserah.”
“Kok diem Kil? Gue salah ngomong?” Beberapa saat Kila tidak menjawab. Hening
yang terdengar di telinga Bianca.
“Ngga, ngga apa-apa. Sebenernya pada akhirnya sekarang gue cerita ke elo
karena gue ga tau harus gimana. Lo tau gue lagi deket sama Fadhil kan, awalnya
ya gue jalanin aja. Tapi pas tadi gue ketemu Alvin, dia itu abis dari Margo
city sama cewe. Finally, gue sadar.
Gue ke Fadhil itu cuma sekadar upaya pembodohan perasaan gue sendiri, gue gak
mau pada akhirnya gue harus bersandiwara di depan Fadhil dan semua orang. Gue
ngerasa, jadi munafik. Gue ga bisa membohongi perasaan gue sendiri lagi Bi, gue
sayang Alvin.” Bibirnya tergetar, butiran-butiran kaca di matanya pecah terjun
mengaliri pipinya. Napasnya mulai tidak teratur, terengah, perasaan ini hampir
sepanjang tahun mengoyak hati terdalam Kila. Sayang yang membisu, kesediaan
yang menuli, dan kata-kata yang membeku di ujung lidahnya sepanjang waktu kini
memecah ketegarannya lagi.
“Kil, udah. Jangan nangis. Pada akhirnya lo emang harus mengatakan tentang
ini ke Alvin sih, i think.”
“Gue gak siap bi. Gue gak siap kalo nantinya dia malah jadi menjarak, atau
malah menghilang sama sekali.”
“You’re beautiful. Sederhana, gak
banyak gaya, mungkin aja si Alvin juga punya perasaan yang sama seperti
perasaan yang lo simpen. Who knows?
Siap atau ngga, kita tunggu sampe lo siap. Gue bantu sebisa gue, apa yang bisa
gue bantu ya gue bantu. Udah ya nangisnya?”
“Hmm, makasih ya Bian. Gue cerita ini ke elo, karena di antara temen yang
lain cuma lo yang pernah cerita aneh-aneh ke gue, dan gue tau itu cuma lo
ceritain ke gue.” Tangannya mengusap, membersihkan bekas tangisnya.
“Idealnya begitu kan? Melengkapi di berbagai kondisi, susah-seneng, Friendship.”
Kila tersenyum simpul. Ketegaran
hatinya terus diuji waktu, ketulusan perasaannya semakin terasah karena ragu
yang menggelisah. Perasaan itu, seutuhnya adalah milik Kila untuk lelaki pujaan
hatinya. Lelaki yang tanpa alasan membawanya pada kedamaian. Yang Kila tahu,
dia menyayangi dan mengasihi Alvin tanpa ingin menyakiti siapapun. Tidak hatinya,
tidak hati Alvin, atau bahkan seseorang di luar sana yang juga menyayangi dia atau Alvin. Satu yang belum Kila punya, ketetapan hati untuk mengatakan kesucian
rasanya yang terus tertahan, terdiam. Waktu, mampukah kau jawab segala keraguan
itu?
***
Line
Pesan Baru
Diterima
Tutup –
Lihat
Kila menekan tombol lihat pada layar androidnya. Matanya
sedikit berdelik saat melihat nama Sakti yang muncul. Tidak biasanya Sakti mengirimkan
Kila pesan melalui Line.
“Kil, dimana? Masih ada jadwal ngampus ga? Ada yang titip kado buat Alvin. Urang takut dia udah gak di Depok Kil.
Dia ultah tanggal 26 Januari. Ngasih kadonya bebas sih kapan aja, haha. Jangan
bilang-bilang Alvin ya, biar kejutan.”
“Di Bintaro, sekarang mah lagi kosong tapi nanti Senin tanggal 30 Desember
masih ada UAS. Kenapa Sakti? Oh ya? Fans
sekali sepertinya.” Dikira berita penting apa, kenapa harus dititip ke Kila? Kenapa
tidak Sakti saja yang memberikannya langsung? Bukankah gadis itu menitipkannya
melalui Sakti? Menyebalkan.
“Kan urang temen SMA nya, ada
yang nitip. Bisa ga Kil? Urang titip
ke maneh aja. Kasihinnya pas kalian
ketemu nanti. “
“Iyah Sak, bisa. Itu maksud gue yang nitip fans sekali.”
“Ia, hhaha begitulah si Alvin. Maneh ke Depok kapan Kil?”
“Senin Sak, itu UAS doang abis itu mau langsung cabut ke Bandung. Mau
ketemu di Bandung aja atau gimana nih?” Dengan malas Kila mengetik balasan
untuk Sakti.
“Oh gitu, gitumah ketemu di Bandung aja deh. Si Alvin diem-diem ada yang
ngefans, haha gak ngerti.”
“Iyah, kalem gitu dia haha.” Kila mulai semangat saat fokus pembicaraan
beralih menjadi tentang Alvin.
“Mungkin karena kekalemannya itu ya Kil. Menurut urang sih emang cool si
Alvin. Tapi Fadhil masih lebih cool, hahaha.”
“Kekaleman Alvin perlu diakui memang. Kharismatik. Ih Fadhil.”
“Alvin tuh diem-diem mematikan, kalo si Fadhil mah memang mematikan.
Lagipula Fadhil jauh lebih populer juga kan di kampus. Alvin pendiem banget
sih.”
“Ngga semua orang mementingkan kepopuleran Sakti, kalo menurut gue sih
mending Alvin kemana-mana, jawuuuuh! Ahaha.”
“Nyebelin ah si Alvin mah, susah dikontak. Sok sibuk, ribet euy! Tapi dulu
pas promnight SMA urang sama dia ngeband, dia jadi vokalis sama gitaris
sekaligus. Anjirrr, keren banget Kil dia. Urang aja sampe terkesima, ahaha.”
“Fadhil sanguinis, si populer. Alvin pleghmatis, si pecinta damai.” Ya,
tanpa bermain gitar dan bernyanyi saja dia sudah begitu memikat Kila. Kila sendiri
bingung, perasaan itu entah datang dari mana.
“Apaan ituh Kil? Karakter psikologi ya?”
“Itu namanya kepribadian dasar. Ada empat: sanguinis, melankolis,
pleghmatis, koleris.” Meski bukan Mahasiswa psikologi tapi Kila senang membaca.
Termasuk buku personality plus yang membahas
hal itu dengan lengkap. Buku itu baru saja selesai dia baca, masih tergeletak
di samping gulingnya.
“Wah, urang kurang ngerti, hehe. Mantaplah!”
“Oiya Sak, nanti gue nginepnya di Dipati Ukur, di tempat Bianca.”
“Siplah, nanti diatur lagi aja ketemuan buat ngasih kado Alvinnya.”
Bandung, Alvin. Dua kata
itu yang kini memenuhi kepala Kila, berlarian hingga Kila bingung bagaimana
untuk menghentikannya.
***
Mata Kila melotot
sejadi-jadinya, ketika dia buka kontak whatsapp ada nama Alvin di sana. Matanya
memandang lekat teks yang tertulis di sana ‘Hey
there! I’m using whatsapp’ Sejak kapan Alvin pakai whatsapp? Pipinya
membukit merah, tepi bibirnya tertarik kesamping perlahan, sorot matanya
terlihat cerah. Sesegera mungkin Kila mengetik pesan whatsapp untuk Alvin.
“Alviiiin, tadi link casting nya
udah gue kirim lewat sms ya. Dicek, baca lagi aja. Kalo mau apply barenglah ya.”
“Kil, itu nyita waktu ngga yah? Mau apply
pemilihan ketua UKM seni budaya juga soalnya.”
“Choose one, ke senbud aja kalo
gitu mah. Condong ke arah sana kan?”
“Tapi belakangan ini sadar dari dulu pengen terjun ke acting.”
“I see. I just try to explore that
since i know what did you want. Atau, apply
dulu aja dua-duanya. Casting-nya kan
Cuma sehari, setelah pengumuman lolos atau engganya baru deh tentuin langkah
selanjutnya. Kalo keterima ya terusin, kalo ngga ya fokus di senbud. Jangan
sia-siain kesempatan ini begitu aja Vin, ya?“
“Yasudahlah, sampe tanggal 20 Januari kan ya batas kumpulin berkasnya?”
“Iya tanggal 20.”
“Siiip, Akila lagi dimana sekarang?”
“Di rumah, besok Akila mau berangkat ke Bandung dong. Alvin udah di
Bandung?”
“Akila di Tangerang? Mau ngapain di Bandung? Gaboleeeeeeeh.”
“Ih, jahatlah. Kenapa coba? :p. Mau 20-an di Bandung. Lagian udah kangen
Bandung.”
“Gaboleh soalnya gak ngasih gua ceweee, hha. Besok maghrib gua ke
Bandungnya. “
“Naik bis?” Kila mengetuk-ngetukkan kakinya ke kasur. Menanti balasan teks
dari Alvin yang tak kunjung muncul di layar androidnya.
Kila membalikkan badannya
menjadi menghadap langit-langit kamarnya. Menatap lampu kamarnya yang masih
berwarna kuning, bukan putih. Sejak dibonceng Alvin keliling Depok malam itu
Kila sangat menyukai bola lampu pijar, warnanya yang memendar serasa sinar
bulan yang terus setia menghangatkan malam. Matanya terpejam, mengingat setiap detil
tentang Alvin malam itu. Hoodie
abu-abu, sepatu ket merah luntur, dan aroma kesederhanaan yang mencuat dari
tubuh Alvin menghangatkan dadanya, hampir persis seperti malam itu. Dengan sigap
Kila meraih androidnya dan kembali mengirim teks whatsapp untuk Alvin.
“Vin” Kila menguji dengan panggilan singkat.
“Naik traveeel.”
“Loh bedanya? Berhubung besok gue masih ada UAS sampe jam tiga baiknya gue
naik apa? Rencana awal sih mau naik bis yang lo bilang lewat di depan jalan
Margonda itu. Ada saran?”
“Mau 20-an? Maksudnya? Sorry lama balesnya tadi mandi dulu.”
“Mending di depan Margonda, tapi sebelum jam empat udah harus stand by nunggu. Lebih bagus lagi Kila
ke terminal Depok aja, ini akhir taun, rawan penuh bisnya."
"Mau 20 tahunan di
Banduuung Alvin! Sebelum jam empat yah? Okelah. Berapa deh Vin tiket bis yang
itu?”
“Oohiiaaiiaa ngertiii, Akila ulang tahunnya tepat satu Januari kan
ya,ahaha. Harusnya suh masih 55 ribu.”
“Handphone-nya udah ganti qwerty
nih ya, asik deh android baru. Typo i
sama u, ahaha.” Seingat Kila, kalau ingatannya belum rusak, ponsel Alvin adalah
tipe lama yang hanya mendukung fitur telepon dan pesan singkat saja.
“Ngga ko, sengaja.”
“Lah yaiyakali, :p?”
“Mana ceweeee Kil?”
“I couldn’t give it to youuu,
syalala...” Alvin memang begitu, mungkin karena dekatnya dia dengan Kila. Dia tak
pernah menyadari bahwa ada perasaan Kila di antara mereka. Tidakkah Alvin lelah
menulikan hatinya?
“Jahatlah, udah datwng ke kota orang, ckck.”
“Se-typo itu yah ini, ahaha.
Nggaaaaaaak, ngga ada Vin gue jahat sama lo :p.”
“Kilaa itu bukan typo, aduuuuh.
Itu sengaja.”
“Lah gitu aja? Whatever-lah ya
yang penting udah bisa whatsapp. Sms
elo mah bagai katak merindu bulan, hah.” Begitulah memang, bagus sudah ada whatsapp. Rentang Alvin menjawab pesan
Kila jauh lebih cepat jika dibanding saat menggunakan layanan pesan singkat.
“Emang kenapa?”
“Iyaaah, gak tau itu kapan elo balesnya.”
“Vin?” sepuluh, dua puluh, tiga puluh menit Kila menunggu tak ada jawaban
apapun dari Alvin. Masih, datang dan pergi begitu saja. Alvin.
***
Whatsapp
New messages
Bianca Dianita
“Kil besok berangkat jam berapa?”
“Jam setengah empat dari Depok.”
“Lo di jalan ati-ati yah.”
“Iyah, pasti kok Biaaan :D.”
“Nah, anak pintaar :p”
“Bi,”
“Iya? Kenapa Kil?
“Someone has tell me about this new year. Pergantian tahun ini bertepatan
dengan hari rabu terakhir di bulan Safar menurut kalender Islam dan Jawa. Dia
bilang Tuhan akan menurunkan banyak bala bencana.”
“Terus? Kil, elo percaya sama broadcast
message Rebo Wekasan kaya gitu? Itu mitos ajah kali ya.”
“Bukan, bukan dari broadcast message.
Tapi ya adalah sesepuh deket rumah bilang gitu, anehnya dia bilang ke gue pas
gue balik sendiri dari warung. Firasat gue nggak enak Bi.”
“Makanya kan tadi gue bilang elo ati-ati. Lepas dari itu mitos atau bukan,
perayaan tahun baru kan banyak orang turun ke jalan, pesta, hura-hura. Nah,
kalo pada maksiat ya bisa aja dikasih bencana. Pergantian tahun itu kan gimana
baiknya kita bisa maknai dengan perubahan ke arah yang lebih baik. Ati-ati
bersikap juga, jangan lupa berdoa Akilaah, hhe. Jangan dipikirin yang kaya
gituan ya.”
“Elo Bi, bisa aja, bisa terus ya. Ahaha. Tapi bi, ini seandainya ya,
seandainya ada apa-apa sama gue nanti, gue mau minta tolong.”
“Apa? Mau minta sampein ke Alvin tentang perasaan elo? Iyah, bakalan gue
sampein.”
“Loh kok lo tau?”
“Abisnya apalagi coba?”
“Hhehe, jadi malu gue. Segitunya ya?”
“Yayaya, gue hanya bisa tersenyum Akilaaah. Haha.”
“Ya kan gak ada yang tau, jaga-jaga aja. Baik dan pengertian banget sih si
Biancaa ini, terima kasih Tuhan udah kirimin makhluk semacam ini buat
Kilaaaah.”
Kadang, Bian menyebalkan,
tapi begitulah teman. Semua terasa lengkap karena ada waktunya masing-masing.
***
“Vin, nanti turun bis nya dimana? Kalo mau lanjut ke Dipati Ukur naik apa?”
“Alviiin.”
“Turunnya di Pintu Tol Pasir Koja. Nanti akang-akang bisnya bilang ‘Pasir
Koja Holiis Pasir Koja Holiiis’ nah itu maksudnya nanyain siapa yang mau turun
di situ. Dari Pintu Tol nya nggak jauh, jadi kamu siap-siap turun.”
“Di lampu merah pertama bisnya berhenti kan, turun di situ. Soalnya kalo di
atas jam tiga dari Depok sampe Bandungnya nanti udah gak ada bis dalam kota.
Dari situ kamu naik angkot oren arah ke Dago. Angkot orennya ada dimanaaah?
Angkot orennya ada di seberang tempat akila turun, biasanya ada yang mangkal
kok di situ. Terus tinggal bilang, turunin di tempat angkot yang ke arah Dipati
Ukur.”
“Di Dago udah tau jalan belum?”
“Iyah Kilaaah, pendiiing.”
“Okesip sip, makasiih Alvin. Nanti kalo Kilah bingung Kilah telepon kamu
ya. Kamu mau angkat kan? Hahaa?”
“Iyaah."
***
Whatsapp
New messages
Alvin
“Kila dimana? Udah naik bis belum?”
“Lagi di angkot ini, menuju terminal Depok. Kamu dimana?”
“Masih berres-berres di kosyaan. :p”
“Kirain nanyain mau bareng.”
“Hhehe, nggaak. Alvin kan nanti jam enam berangkatnya.”
“Ini Kila udah di bis. Kira-kira sampenya jam berapa?”
“Tiga jam sejak mulai berangkat.”
“Untung dari terminal yah, kalo nunggu di depan Margonda gak dapet duduk
deh kayanya. Penuh euy.”
“Nah kan bener, hahha. Kalo di atas jam tiga emang rawan penuh. Bisnya udah
jalan?”
“Belum, kata supirnya berangkat jam lima.” Kila menekan tombol daya
androidnya. Kapasitas daya di baterainya menunjukkan angka 15% sementara dia
masih harus melewati tiga jam perjalanan.
Kila menatap jauh ke luar
jendela, langit Depok mulai mendung. Isi kepalanya mengawang menggambarkan
Alvin. Dadanya berdebar, tangannya memindahkan tasnya ke pangkuan. Memeluk erat
tasnya, mencoba memejam mata sebelum perjalanan ini dimulai.
***
Kila terbangun, tatapannya
menembus jendela bis MIG Depok-Bandung. Kila duduk di sisi dalam bagian kanan
bis. Berdecak kagum, dalam gelap malam lampu-lampu yang dinyalakan dari
kejauhan terlihat seperti bintang yang berpijaran. Titik-titik anak hujan
menghalangi pandangannya ke arah langit. Dingin semakin terasa, tangannya di
masukkan ke dalam kantung celananya. Androidnya, Alvin. Kila secepat kilat
menghidupkan tombol daya ponselnya. Mencari kontak whatsapp Alvin.
“Bis kamu udah jalan Vin?”
“Udah, Kamu udah dimana? Macet ga?”
“Lancar jayaa, km 51 nih. Hampir sepanjang jalan ini bukit bintang semua.
Untung yah berangkatnya agak sore.”
“Puji Tuhan ya. Sekitar 90 menitan lagi sampe Bandung berarti.”
“Persis tiga jam yah berarti? Jadi ini baru setengah jalan?”
“Iyah.”
Lampu pemberitahuan
androidnya berkedip merah, angka kapasitas baterainya menunjukkan angka 12%.
Sedikit berat rasanya, Kila menekan tombol daya androidnya. Sepanjang jalan
Kila memperhatikan sisi luar jendela bis, aroma Bandung terasa semakin dekat
dalam pikirannya. Kondektur meneriakkan ‘Pasir Koja Holis’ beberapa kali. Kila
merapikan tasnya, bersiap segera turun. Setelah turun dari bis Kila menyalakan
kembali androidnya, membuka percakapannya dengan Alvin di whatsapp. Kila mengikuti arahan Alvin setelah turun dari bisnya.
Whatsapp
New messages
Alvin
“Udah dimana?”
“Ini udah di angkot oren Vin.”
“Cieee udah sampe, emang mau kemana
sih?”
“Nginepnya di Dipati ukur Vin, di rumah Bianca.”
“Oh, bilang sama tukang angkotnya turunin di tempat angkot yang mau ke
Dipati Ukur. Tapi dari situ ke Dagonya lumayan.”
“Ini semuanya ngomong sunda masa :D”
“Iyah, pasti agak-agak geli gitu ya lo dengernya? Ahaha.”
“Cuma bisa senyum-senyum aja, nggak ngerti ini orang pada ngomong apa.
Nanti Kila dikira orang gila.”
“Ati-ati loh Kil, di sana banyak Kamtib.”
“Loh, ahaha. Apa kabar kamtibnya?”
“Lagi pada sibuk cari istri.”
“Sibuk menggapai pujaan hati mungkin Vin.”
“Aihh, jangan bilang gitu ah. Aku udah dua kali nih gagal menggapai cewe. Aku
udah di rumah dong. Udah dimana?”
“Ini lagi di simpang Dago, nunggu angkot. Tadi sempet kebawa sampe Surapati
sanaan lagi, kelewat. Udah lowbat banget ini Vin handphone. Tewas nih. Kamu
jangan tidur dulu kalo aku belum sampe ya.” Kila sedikit khawatir, karena dia
belum tahu persis dimana rumah Bianca. Kapasitas baterainya menunjukkan angka
4%, benar-benar krisis.
“Jangaaan, jangan tewas Kilanya. Iyaiya, nggak ko.”
“Apasih Vin, bukan Kila yang tewas. Ya Tuhan.” Mata Kila melotot
sejadi-jadinya. Seakan melihat hal yang paling mengejutkan dan menakutkan yang
pernah dia lihat. Daya baterainya benar-benar habis. Beruntungnya Kila Bianca
sudah menunggu di depan jalan Dipati Ukur, ketika turun dari angkot Kila
langsung di sambut Bianca. Sesampainya di Rumah Bianca Kila langsung mengisi
ulang baterai androidya. Saat menyala Kila langsung mengetikkan pesan untuk
Alvin.
“Vin, ini Kila udah sampe. Ternyata ngga di Dipati ukur, tapi di Surapati.”
Sepuluh, dua puluh, tiga
puluh menit Kila menunggu tetap tak ada jawaban. Mungkin Alvin lelah, mungkin
Alvin kecapaian. Kila segera menepis kemungkinan Alvin sengaja tidur karena tak
peduli padanya, tidak, Alvin tidak begitu.
***
Di ujung jalan Braga Kila
dan Bianca terduduk di pinggir pagar. Keduanya terlihat lelah namun tampak
tetap semangat untuk menjelajah.
“Numpang lewat di Gasibu udah, di Gedung Sate udah, Museum Geologi udah, Cihampelas
udah, Gedung Merdeka juga udah, sekarang kita mau kemana Bi?”
“Ke BIP (Bandung Indah Plaza) atau mau langsung ke Dago?”
“Ke Dago ajalah langsung, udah mulai capek ini kaki. Pegel pegel pecel,
hah.”
“Ini jam enam, jalan nanti ditutup jam delapan. Itu tuh Car Free Night nya Dago bakal dimulai.
Ya baguslah, biar dapet angkot yah, ahaha.” Kila dan Bianca menumpang angkot
menuju Dago, sesampainya di MCD Dago Kila mengirim pesan untuk Alvin.
“Vin, WA gak aktif ya? Lagi dimana?”
“Iyanih Kil, lagi di cas tadi. Kenapa?”
“Taun baruan sama siapa? Kalo gak ada agenda bareng yuk!”
“Terus temenmu gimana? Tahun baruan dimana kamu? Temenin aku ke Dago lah
kalo bisa, hhe.”
“Iya di Dago ini, nunggu malemnya di MCD. Banyak balon Vin, ramee.” Mata
Kila berbinar, ternyata Alvin tidak ada agenda dengan siapapun, bahkan gadis
yang mungkin menitipkan kado yang melalui Sakti. Kado itu kini di hadapannya.
“Ooh, Kila lagi di MCD? Sama siapa aja?”
“Bertiga ini, sama Bianca sama Sakti. Kamu mandi dulu sanah!”
“Banyak balonnya dimana? Nanti temenin dong berkeliaran di Dago bentaaar
saja, nanti kukembaikan dirimu ke teman-temanmu.”
“Okeh.”
“Jam delapan ya, pas udah car free night.”
“Siap jaang ;p”
“Udah banyak banget orang belum?”
“Belooom, masih normal ramenya.”
“Okaaayh.”
Dada Kila berdebar
kencang, Alvin, Alvin mengajaknya melewati pergantian tahun, pertambahan
usianya juga. Alvin, mungkinkah?
***
“Kirain Alvin mau taun baruan sama temen-temen SMA.”
“Engga, temen-temenku ada acara semua sama pacarnya.”
“Walaah, ahaha. Kamu ngga malam taun baruan sama yang kemarin nemenin kamu
ke Margo City?” Kila iseng, menanyakan itu sambil terkekeh.
“Kil...”
“Eh, kenapa?” Kila kaget, Alvin merangkulnya, erat.
“Maafin aku yah.” Alvin menatap Kila lekat, tatapan itu sangat sulit
ditebak, tatapan itu entah kemana arah tujuan maksudnya.
“Maaf? Untuk apa? Kamu gak ada salah apa-apa Vin sama Kila, kalo kamu suka
ngeledek ya aku anggapnya hiburan aja. Ya kan?” Kila tersenyum palsu, keraguan
itu kembali menyeruak. Kila kira Alvin akan menyampaikan sesuatu yang
membuatnya terharu tepat pada pergantian tahun ini, tapi ini seakan kebalikannya.
Kepalanya yang sejak tadi menatap balon-balon yang bergantungan di sepanjang
kawasan Dago tertunduk. Napasnya berat, tertahan. Suaranya terdengar
putus-putus.
Alvin memeluk Kila,
tangannya mengusap-usap bahu Kila, mengelus-elus rambut Kila yang sebahu.
“Kamu gak perlu menangis sendirian lagi, di sini udah ada aku. Kila. Bianca
ada cerita sama aku, Kil... Lihat aku,” Alvin mengangkat wajah Kila perlahan,
penuh perasaan. Matanya juga berkaca-kaca. Tangis mereka berdua pecah, tembok
kediaman mereka runtuh sudah. “Aku sadar, aku sayang kamu. Maaf, aku baru berani
bilang sama kamu. Maaf aku ngebiarin kamu menangis sendiri selama ini.”
Alvin menarik Kila berdiri
perlahan, bahunya yang kokoh jadi tempat kepala Kila bersandar kini.
“Kila, selamat tahun baru, selamat ulang tahun.”
“Vin, ini udah pagi ya? Ini udah Januari ya?”
“Iyah, kenapa Kilaaah?”
“Ngga apa-apa. Aku cuma mau bilang selamat pagi, Januari.”
Keduanya bertatapan, di
Januari yang baru ini tidak ada lagi keraguan dalam hati keduanya. Tidak lagi
ada batas, kesediaan mereka berdua telah meretas. Jika hanya keberanian yang
menjadi satu-satunya cara untuk melepaskan segala beban dan rasa tertahan,
kenapa tidak segera kau lakukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar